Minggu, 07 Agustus 2011

Ujian Soal Perasaan

***

Lalu, kami bertemu di perpustakaan.

Dalam sebuah siang yang ramai. Dia datang, diam, langsung terisak. Menangis. Lembar-lembar tisu dihabiskannya untuk mengusap peluh tangis dipipinya. Belum ada tanda dia akan meluahkan kata-kata untuk bercerita mengenai keadaannya.
Dan, sayapun hanya membatu, ikut terdiam. Ada seribu tanya dalam dada, tapi masih kuat kusimpan dalam-dalam. Saya masih belum tahu harus berbuat apa. Setelah sama-sama mendiam, keluar kata dari bibirnya;

“Aku tak mencintai suamiku”

Deg, serasa tersambar hati ini. Seperti tertusuk rasa. Tapi saya mencoba untuk tenang, mencoba menggali lebih dalam apa maksudnya dia sampai berkata begitu. Lantas, setelah saya tanyakan kepadanya, dia mulai membuka diri. Dikatakannya, sudah tak tahu harus berbuat apa. Tidak ada tempat bercerita. Kemudian, dia meminta saya untuk memberikan solusi atas permasalahan rumah tangganya.

Sulit, jelas saja. Saya masih awam, belum tahu seluk beluk problem nyata rumah tangga. Tepatnya, belum berpengalaman. Kalaupun sedikit tahu, hanya lewat artikel-artikel dan buku tentang kerumahtanggaan. Jadi, berat rasanya untuk memberikan padangan terbaik baginya.

Sebenarnya, persoalannya tak rumit. Hanya problem rumah tangga biasa. Ketidakcocokkan, terus bertengkar dengan suaminya. Dia kecewa, tak tahan, lantas kabur dari rumah. Jujur, saya memang salah ketika mengiyakan pertemuan dengannya. Entah, yang terpikirkan saat itu, dia pingin ketemu, katanya ada urusan penting yang perlu dibicarakan. Ya sudah, ketemu diperpustakaan saja. Lagian tempatnya rame. Baru saya sadar setelah ketemu, tak menyangka kalau problemnya seputar rumah tangannya.

Dia memang teman sejak awal kuliah. Semenjak semester satu. Jadi, untuk soal ngobrol, memang lumayan terbuka. Anaknya memang sedikit labil. Kalau ada kemauaan harus tercapai. Kalau sedikit kecewa, langsung terluahkan begitu saja. Langsung keluar. Ekpresi begitu nampak terlihatkan. Sedikit banyak, saya tahu kharakternya. Biasanya, ketika sedang mengalami hal semacam itu, guncangan hebat dalam dirinya, akan geleng-geleng kepala bagi siapapun yang melihatnya. Makanya, ketika dia cerita soal rumahtangganya, saya dengarkan saja. Pengalaman dulu begitu. Ketika dia cerita panjang-lebar saya biarkan saja. Dia akan baik-baik saja kalau sudah capek bercerita, semuanya sudah keluar. Setelah itu, biasanya kondisi psikologisnya akan kembali seperti semula.

Dia sebenarnya tak butuh solusi. Hanya butuh didengarkan saja. Benar saja. Ketika sudah tak ada lagi yang diceritakannya, dia mulai sedikit tenang. Bahkan sesekali tersenyum, menghela nafas panjang. Lega rasanya. Akhirnya, toh kembali baik-baik saja. Ketika sudah tenang, saya katakan kepadanya “udah sana pulang”. Dia bergegas, sambil mengucapkan terimakasih. Saya hanya geleng-geleng kepala. Saya hanya bisa bergumam pelan, “Kamu itu emang dari dulu nggak berubah”. Fiuhhhhhh…..

***
Dimana ketika seorang teman sudah menganggap teman lawan jenisnya sebagai kakak atau adik, mungkin timbul perasaan ingin selalu melindungi dan menyayangi selayaknya saudara sedarah. Tapi, pernahkan kamu ketahui bahwa perasaan itu bisa berbuah cinta dan kasih sayang. . .??? Selebihnya timbul rasa saling bergantung satu sama lain. Dan mengklaim, "Dia sudah ku anggap seperti adikku, sudah sepatutnya aku membantu dan melindungi dia." Aku tidak pernah percaya akan pertemanan yang menganggap sebagai kakak-adik ! Semua itu bulshit dan sampah. Walaupun dari awal sudah berkomitmen hanya sekedar sahabat dan teman biasa, tapi tidak pernah bisa untuk memungkiri bahwa ujian soal perasaan itu bisa begitu mudah berubah... Hanya akan menimbulkan luka di pihak ketiga.

Source : Heart 'n Souls Indonesia,, dengan modifikasi emosional penulis.

0 komentar:

Posting Komentar